Suarayasmina.com | Pada skala Provinsi Jawa Tengah, tingkat perceraian di Kabupaten Grobogan menempati posisi tertinggi. Data yang dirilis RMOL Jateng (Kamis, 6/3/2025) menyatakan, sepanjang tahun 2024, Pengadilan Agama (PA) Purwodadi telah menerima 3.950 gugatan, dengan tiga di antaranya kasus poligami. PA memutus cerai talak 763 kasus dan cerai gugat 2.478 kasus dengan total 3.241 kasus.

Tentu, banyak faktor yang menjadi pemicu hingga terjadinya perceraian. Kondisi ekonomi disebutkan menjadi faktor tertinggi pemicu perceraian.

Pudarnya Sakralitas Pernikahan

Sebuah data yang menyedihkan karena menunjukkan mulai pudarnya sakralitas sebuah pernikahan. Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu peristiwa yang suci dan sakral. Al-Qur’an menyatakan, akad dalam pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh).

Akad nikah dikatakan sebagai “perjanjian yang kokoh” dapat dipahami karena dengan itu: Pertama; menghalalkan yang haram. Maksudnya, hubungan yang sebelumnya haram, setelah akad menjadi halal.

Kedua; dengan akad akan melahirkan serangkaian hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berumah tangga.

Dan ketiga; akan melahirkan generasi yang jelas status hukum nasabnya untuk meneruskan kehidupan manusia di muka bumi ini.

Sebagai konsekuensi dari itu, Islam mempersempit ruang untuk bercerai antara suami dan istri dengan menyatakan “Cerai adalah perkara halal yang dibenci Allah”. Artinya, meski mempersempit ruang untuk bercerai, Islam tidak menutup sama sekali pintu untuk bercerai ketika biduk rumah tangga sudah tak lagi bisa menjadi bahtera menuju pelabuhan impian.

Perceraian menjadi jalan akhir dari biduk rumah tangga yang sudah tak lagi mencapai keselarasan yang didambakan.

Hanya saja, kita menjadi prihatin ketika perceraian menjadi fenomena yang semakin hari semakin jamak terjadi. Hal ini selain merupakan refleksi dari mulai memudarnya nilai sakralitas sebuah pernikahan, juga merupakan indikator semakin lemahnya komitmen dan tanggung jawab dalam mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah.

Resep Mewujudkan Keluarga Sakinah

Sekian abad yang lalu, Rasulullah Saw telah memberikan resep mewujudkan keluarga sakinah dengan sabdanya,

أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ اْلمَرْءِ أَنْ تَكُوْنَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً وَأَوْلاَدُهُ أَبْرَارًا وَخُلَطَائُهُ صًالِحِيْنَ وَأَنْ يَكُوْنَ رِزْقُهُ فِى بَلَدِهِ

“Ada empat hal yang menjadi kebahagiaan seseorang, yaitu: memiliki istri yang salehah; anak-anak yang berbakti; teman-teman yang saleh; dan rezeki yang berada di negerinya (tempat tinggalnya) sendiri.” (HR. ad-Dailami).

Dalam hadits ini, Rasulullah Saw menyebutkan empat hal yang menjadi indikator kebahagiaan seseorang atau sebut saja hal itu sebagai rukun kebahagiaan manusia. Bila keempat hal itu terwujud dalam kehidupan seseorang, maka kebahagiaan yang utuh telah diraihnya.

Sebaliknya, bila salah satu atau bahkan salah dua dari indikator kebahagiaan itu tidak dapat teraih, maka ada sisi kebahagiaan yang kurang, meskipun dalam kehidupan, ada saja dinamika yang menjadikan sisi kebahagiaan itu tidak utuh. Karena kabahagiaan paripurna hanya kelak ketika seseorang masuk surga.

Meskipun tidak utuh, setidaknya sisi-sisi kebahagiaan itu telah kita perjuangkan untuk mewujudkannya, sehingga saya menyebut keempat hal yang disampaikan Rasulullah itu sebagai resep mewujudkan keluarga sakinah.

Memiliki Isti Salehah

Resep pertama; memiliki istri yang salehah (zawjatuhu shalihatan). Ini fondamen kebahagiaan rumah tangga yang paling azazi. Betapa bahagianya seorang suami yang mempunyai istri salehah yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Bila suami memandangnya, ia menyenangkan; bila suami memerintahnya, ia taat; dan bila suami tiada (di rumah), ia menjaga kehormatannya.” (HR. Abu Dawud).

Begitu pun sebaliknya, betapa bahagianya seorang istri yang memiliki suami yang saleh. Karena suami yang saleh akan memperlakukan istrinya dengan baik, setia, lembut, dan romantis, sebagaimana tuntutan dalam Al-Qur’an, “…dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….” (QS. Al-Baqarah: 228).

Maka, dalam Islam, mewujudkan keluarga sakinah itu dimulai sejak dari memilih pasangan, yakni pasangan yang saleh atau salehah.

Memiliki Anak-anak yang Berbakti

Resep kedua; anak-anak yang berbakti (al-awladuhu abraran). Merekalah anak-anak yang menjadikan akhlak mulia sebagai mahkota dalam kehidupannya. Karenanya, kehadiran mereka menjadi penyejuk hati orangtuanya.

Sebaliknya, kebahagiaan keluarga serasa sirna bila anak-anak yang dilahirkan menjelma menjadi anak-anak yang durhaka. Akhlaknya tercela dan tingkah polahnya senantiasa membuat orangtuanya, bahkan masyarakatnya, murka kepadanya.

Namun, anak-anak yang berbakti tidak lahir dari proses simsalabim. Mereka lahir dari orangtua yang saleh dan salehah, yang penuh keteladanan dan kesungguhan mengalokasikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Di era modern ini, banyak suami-istri yang abai terhadap pendidikan anaknya, hanya pasrah bongkokan kepada lembaga pendidikan formal, dengan alasan sibuk mencari uang. Mereka tidak menyadari, justru pendidikan di keluargalah pondamen dan benteng paling kokoh dalam membentuk anak-anak yang berkarakter.

Memiliki Teman-teman yang Saleh

Ketiga; teman-teman yang saleh (khulathauhu shalihiina). Teman-teman itu ibarat milieu (lingkungan) yang sangat mempengaruhi konsistensi sebuah keluarga untuk tetap berada dalam rel kabajikan.

Teman-teman yang baik akan semakin memperkokoh suatu keluarga agar tetap sakinah; sebaliknya teman-teman yang buruk, bisa menjadi bibit hancurnya sebuah rumah tangga.

Banyak kasus pihak ketiga yang dipicu karena faktor lingkungan yang kondusif untuk terjadinya tindak perselingkuhan. Karenanya, penting sekali sebuah keluarga merapat dan memiliki jejaring komunitas yang baik, seperti majelis taklim, grup pengajian, dan semisalnya.

Memiliki Sumber Rezeki di Negerinya Sendiri

Keempat; rezekinya berada di negerinya (rizquhu fii baladihi). Tidak bisa dipungkiri, sebuah keluarga terkait dengan fungsi ekonomi. Maka visi finansial harus terus diasah, agar seorang suami bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Memiliki sumber penghasilan atau tempat bekerja yang berada di daerahnya sendiri, sehingga setiap hari bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga, merupakan faktor kebahagiaan yang tak bisa diabaikan.

Dengan aspek inilah kebahagiaan hidup seseorang menjadi lebih sempurna.

Realitas menunjukkan, bekerja di negeri orang dan harus berpisah dengan keluarga dalam jangka waktu yang lama, sangat rentan terhadap bibit-bibit kehancuran rumah tangga. Banyak kasus perceraian yang dipicu karena suami atau istri bekerja di negeri orang.

Akibat kebutuhan biologis yang tidak terpenuhi, maka jalan pintasnya adalah melakukan tindak perselingkuhan. Memang dibutuhkan mental dan konstruksi iman yang kuat untuk menjaga keutuhan rumah tangga ketika suami atau istri tidak tinggal bersama karena faktor tempat bekerja yang jauh.

Idealnya, setiap rumah tangga mengupayakan agar jalan rezekinya berada di daerahnya sendiri, sehingga setiap hari bisa berkumpul dengan kelurga. Dengan demikian, jalan menuju keluarga sakinah relatif lebih mudah diwujudkan. Semoga bermanfaat.

Facebook Comments Box

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.