Suarayasmina.com | Menyebut nama Musdah Mulia yang terbayang adalah sosok Muslimah cendekia yang lekat dengan pemikiran-pemikiran kontroversial. Perempuan bernama lengkap Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA ini memang dikenal kerap menyuarakan pemikiran-pemikiran Islam yang berseberangan dengan pemikiran arus utama.

‘Menghalalkan’ homoseksual, menentang poligami, dan anti perda syariah, merupakan di antara pemikiran yang dialamatkan kepadanya. Sehingga ia pun dicap sebagai salah seorang pemikir-feminis liberal.

Lahir dan Tumbuh dari Keluarga Islami

Musdah Mulia lahir di Bone, Sulawesi Selatan, dari keluarga yang sangat kental dengan nuansa Islami. Ibunya seorang aktivis sosial dan keagamaan di masyarakat. Sedang ayahnya aktivis organisasi Islam yang dikenal sebagai organisasi Islam fundamentalis, DI/TII.

Kakeknya dari ayah, KH. Abdul Fatah, seorang mursyid ternama dalam komunitas Tarekat Khalwiyah Naqsabandiyah. Sedang kakek dari ibu, seorang ulama NU tradisional dengan pandangan keislaman yang sangat konservatif.

Mujahidah Muslimah: Kiprah dan Pemikiran Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA (Nuansa Cendekia, Bandung)

Latar belakang keluarga yang religius seperti itu mengantarkan Musdah Mulia semasa muda melangsungkan pendidikannya di pesantren. Saat di pesantren, Musdah Mulia dikenal sebagai santriwati yang cerdas dan kritis. Ia tak segan melontarkan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan gurunya.

Saat menjadi mahasiswa, ia tak mau menjadi mahasiswa yang diistilahkannya sebagai “kupu-kupu” (kuliah pulang-kuliah pulang). Ia memilih berkumpul dengan para dosen dan asisten dosen yang menurutnya akan lebih menambah ilmu.

Kebiasaan itulah yang kemudian menjadikannya diangkat menjadi asisten dosen semasa masih mahasiswa.

Organisasi Sebagai Ajang Artikulasi Diri

Kegemarannya berorganisasi kemudian semakin mematangkan jiwa Musdah Mulia dalam pemikiran dan aksi. Organisasi, baginya, menjadi ajang untuk artikulasi diri. Arena berlomba untuk prestasi. Tempat yang tepat untuk sirkulasi pemikiran dari teks ke konteks.

Hal itulah yang kelak mengantarkan Musdah Mulia ke dalam posisinya sekarang, yaitu sebagai aktivis dan pemikir Islam yang cukup dikenal di panggung Indonesia maupun dunia.

Buku berjudul Mujahidah Muslimah: Kiprah dan Pemikiran Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA karya Ira D Aini ini merekam kiprah dan pemikirannya dengan pendekatan autobiografis (orang pertama).

Di buku yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa Cendekia (Bandung) ini, selain menuturkan liku-liku perjalanan sukses Musdah Mulia dalam mencapai kehidupannya yang sekarang, juga menjelaskan secara spesifik dan cukup panjang pelbagai landasan pemikiran Musdah Mulia atas wacana-wacana kontroversial yang selama ini dilontarkannya.

Homoseksual, Poligami, dan Perkawinan Nabi yang Tidak Harmonis

Soal homoseksual misalnya, Musdah menyatakan bahwa dirinya tak pernah menghalalkan homoseksual.

“Yang aku lakukan hanyalah membela kelompok minoritas untuk mendapatkan hak-haknya, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia,” jelasnya.

Di buku ini pula, Musdah Mulia membeberkan argumentasinya kenapa ia menentang poligami dan perda syariah.

Kata Musdah Mulia, “Aku kadang harus geleng kepala bagaimana seseorang bisa memilih poligami kalau monogami itu lebih indah. Ketidakpuasan, kebosanan, petualangan, dan kekurangan memang selalu ada pada setiap orang. Namun apakah poligami mampu menjamin seseorang hidup bahagia dan bertabur kegembiraan? Tentu saja tidak. Dengan begitu, tanggungjawab suami bertambah dengan tuntutan masing-masing”.

Bagi Musdah Mulia, perkawinan Nabi yang sering dijadikan teladan merupakan potret perkawinan yang tidak harmonis.

Katanya, “Harus diakui bahwa perkawinan Nabi dengan para istrinya merupakan perkawinan yang tidak harmonis. Dalam banyak kesempatan Nabi acapkali menyebut nama Khadijah dengan penuh kegembiraan dan kebanggaan.”

“Suatu ketika Aisyah cemburu dan menyatakan keberatannya.. ‘Wahai Rasul, kenapa engkau menyebut-nyebut perempuan tua itu yang sudah lama meninggal dunia’,” katanya lagi.

Musdah Mulia menambahkan, “Istri-istri Nabi juga sering menggosip dan menebar fitnah. Suatu waktu Nabi sedang berada di kamar Zainab dan di situ beliau disuguhi madu. Aisyah dan Hafsah mengetahuinya. Mereka sepakat untuk berkomplot bahwa jika Nabi datang menemui keduanya, mereka mesti mengatakan bahwa mulut Nabi mengeluarkan bau yang tidak enak.”

Musdah Mulia Menolak Perda Syariah

Soal perda syariah, Musdah Mulia mengingatkan bahwa makna asal kata Syariah adalah jalan lebar menuju oasis. Maka, perda syariah mesti jadi jalan untuk menghirup kebebasan, kesejukan, dan keadilan untuk semua. Perda syariah untuk menyejahterakan, bukan menyengsarakan perempuan.

Persoalannya, menurut Musdah Mulia, ketika perda mengatur batas waktu perempuan keluar malam dengan alasan larangan pelacuran seperti terjadi pada perda Kota Tangerang, hal itu sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Perlakuan ini, masih menurut Musdah Mulia, menyalahi asas praduga tak bersalah dalam hukum. Padahal, banyak sekali perempuan yang keluar malam hari memang untuk bekerja mencari nafkah dengan cara-cara yang halal dan sesuai dengan tuntunan agama.

Ide-ide Kontroversial dan Teror

Atas ide-ide dan pemikirannya yang kontroversial, Musdah Mulia kerap mendapat teror, bahkan mendapat ancaman akan dibunuh. Namun, teror dan ancaman itu tidak menggentarkan nyali Musdah.

Musdah berkata, “Para peneror itu salah kalau menganggapku ciut dengan ancaman itu dan aku akan berhenti bersuara lantang untuk membela keadilan bagi mereka yang tertindas dengan alasan apa pun. Bagiku, kematian hanyalah perpindahan jiwa dan setiap orang pasti mati. Jadi, aku tidak peduli harus mati di mana dan karena apa. Asalkan selama napas ini masih berembus, aku akan terus mengabdikan diri untuk kebenaran.”

Akhirnya, melalui buku ini, pembaca bisa menyerap inspirasi dari perjalanan hidup seorang Musdah Mulia hingga menjadi pemikir dan aktivis kemanusiaan yang pernah mendapatkan penghargaan di kancah internasional, yaitu di bidang demokrasi dan HAM.

Juga menyelami penjelasan atas pemikiran-pemikirannya yang kontroversial selama ini. Soal pembaca kemudian setuju atau tidak dengan pelbagai pemikiran kontroversial yang diusungnya, dikembalikan sepenuhnya kepada masing-masing pembaca untuk menimbangnya. (bma)

Facebook Comments Box

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.