Suarayasmina.com – Dalam buku Illalladzina Asrafu ‘ala ‘Anfusihim, Dr. Aidh Abdullah al-Qarni mengisahkan sosok Salman al-Farisi saat diangkat menjadi gubernur. Kisah ini mencerminkan keindahan akhlak salah seorang sahabat Nabi yang bisa menjadi teladan para pejabat saat ini.
Dikisahkan, sepeninggal Rasulullah, pada masa khalifah Umar bin Khathab, Salman al-Farisi pernah diangkat sebagai gubernur di Kufah.
Berita diangkatnya Salman al-Farisi sebagai Gubernur Kufah pun segera sampai ke telinga penduduk Kufah. Hingga tiba hari kedatangan Salman ke kota itu, seluruh penduduk Kufah pun keluar rumah untuk menyambut kedatangannya.
Mereka mengira Gubernur Salman akan datang ke Kufah dengan pengawalan yang cukup banyak. Namun perkiraan mereka meleset. Ternyata, dia datang seorang diri dengan mengendarai seekor keledai.
Gubernur Salman tampak santai duduk di atas keledainya, sedang di tangannya terdapat sekerat daging yang digigitnya berulang-ulang sedikit demi sedikit.
Penduduk Kufah sama sekali tak menyangka bahwa dia adalah gubernur yang mereka nanti-nanti. sehingga sebagian mereka bertanya kepadanya.
“Apakah engkau melihat Salman al-Farisi yang diutus oleh Khalifah Umar kepada kami? Apakah engkau melihatnya di jalan?”
Salman pun menjawab, “Akulah Salman al-Farisi.”
Dengan nada tak percaya, mereka berkata, “Ah, janganlah engkau menipu kami…janganlah engkau bercanda dengan kami.”
Salman pun menjawab, “Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh. Ini bukannya waktu untuk bersenda gurau.”
Melihat keadaan Salman yang amat bersahaja, mereka memang sulit mempercayai bahwa ia adalah utusan Khalifah Umar sebagai gubernur untuk mereka. Mereka bahkan cenderung meremehkannya. Mengapa?
Tentu karena penduduk Irak adalah penduduk yang tinggal bersebelahan dengan negeri Persia (Iran) yang ketika itu dikenal sebagai negeri kaya raya dengan istana megah bertahtakan emas dan perak. Juga penghasil sutra dan permadani yang indah.
Penduduk Kufah mengira bahwa agama Islam adalah agama yang kuat dan mewah. Hal ini berbeda dengan pandangan Salman.
Maka, Salman pun berkata dengan lembut kepada mereka, “Tidak, kami datang dengan kesederhanaan. Kehidupan kami adalah kehidupan spiritual. Kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”
Akhirnya, Salman berhasil meyakinkan penduduk Kufah dan ia pun menjabat gubernur di sana.
Ketika Khalifah Umar memberinya gaji bulanan, Salman membagi gajinya itu menjadi tiga bagian: sepertiga untuk dirinya sendiri, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk disedekahkan.
Menjelang akhir hayatnya, dan ia masih menjabat sebagai gubernur, penduduk Kufah mendatanginya untuk meminta warisan berharga darinya. Dan inilah tiga warisan berharga yang dimiliki sang gubernur Kufah:
Pertama; sorban lebar, yang biasa digunakan untuk alas duduk dirinya dan para tamunya dalam pengadilan yang biasa ia adakan untuk memutuskan suatu perkara.
Kedua; sebuah tongkat, yang dijadikan alat untuk bersandar pada saat berkhutbah kepada jemaah;
Ketiga; sebuah mangkuk, yang digunakan untuk makan, mandi, dan berwudu.
Pada saat sakaratul maut, Salman menangis. Orang-orang yang berada di sekitarnya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Salman?”
Saman menjawab, “Aku menangis karena teringat sabda Rasulullah Saw yang berbunyi ‘Hendaklah perbekalanmu di dunia ini hanyalah seperti perbekalan orang yang sedang berada di atas kapal’. Sementara perbekalan kita adalah dunia itu sendiri seluruhnya.”
Mereka berkata, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosamu, wahai Salman. Namun, bukankah engkau tidak mengambil bekal apa-apa dari dunia ini?”
Salman menjawab, “Apakah kalian menganggap remeh hal ini. Sesungguhnya aku takut pada hari kiamat nanti ditanya tentang sorban, tongkat, dan mangkukku ini.”
Begitulah Salam al-Farisi. Begitulah gubernur zuhud itu memberi pelajaran dan hikmah yang berharga bagi kita semua setelahnya.





