Oleh Badiatul Muchlisin Asti
Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia (Yasmina) Grobogan
Suarayasmina.com | Transit kereta gantung berada di sebuah kompleks wisata waterboom. Saat kami turun dan keluar ruangan, sejumlah kedai menyambut kami. Namun, satu kedai sangat menarik perhatian saya.
Atas rekomendasi Ust. Ali Rosidi, saya bergegas menuju kedai itu, yang di depan tertulis Café Bakso. “Ayo, monggo, baksonya enak,” kata Ust. Ali.
Lezatnya Bakso Kota Taif
Setiba di kedai itu, saya langsung pesan satu porsi bakso. Sembari menunggu bakso pesanan saya diantar, saya berinisiatif mencicipi bala-bala, yang juga tersedia di kedai ini. Haha, kapan lagi bisa mencicipi makanan Indonesia di Taif.

Bala-bala itu istilah Sunda untuk menyebut bakwan, yaitu penganan berupa gorengan yang terbuat dari sayuran dan tepung terigu yang dibumbui. Baik bakwan maupun bakso, meski populer sebagai makanan khas Indonesia, namun istilahnya berasal dari Tiongkok.
Penggunaan kata bak, yang artinya daging babi, serupa dengan makanan lain yang memiliki asal dan bahan yang sama seperti bakpao, bakpia, bakcang, dan bakmi. Silang budaya kuliner menjadikan makanan-makanan itu bermetamorfosis menjadi makanan khas Indonesia.

Daging babi yang nonhalal, yang biasa menjadi bahan membuat bakso dalam tradisi kuliner Tiongkok, misalnya, di Indonesia diganti menjadi daging sapi atau bahan lainnya yang halal, menyesuaikan budaya religius masyarakat Indonesia.
Menarik bahwa pelbagai kuliner akulturasi khas Indonesia itu kemudian berdiaspora ke berbagai negara. Termasuk di Arab Saudi, yang ternyata banyak dijumpai kuliner Indonesia, terutama bakso.

Café Bakso ini salah satunya. Seporsi bakso ditarif 20 riyal. Baksonya enak, dagingnya terasa lembut, kuahnya gurih asin. Bala-balanya juga enak. Setidaknya bisa menjadi obat kangen masakan Indonesia.

Informasi yang saya peroleh dari Ust. Ali Rosidi, Café Bakso ini baru berdiri sejak sekitar tiga bulanan lalu. Di kompleks ini juga ada kedai bakso lainnya yang telah berdiri lebih lama, tapi menurut Ust Ali, bakso di Café Bakso lebih enak.
Kenapa menu andalannya bakso? Menurut Ust. Ali, karena kebanyakan yang singgah ke objek wisata ini adalah jemaah umrah asal Indonesia dan Malaysia, yang menu-menu tertera merupakan menu-menu yang diminati.
“Jadi, segmen yang dibidik memang jemaah dari Indonesia dan Malaysia,” jelas Ust. Ali.

Lezatnya Nasi Mandi dan Kunafa
Setelah menikmati eksotisme Taif melalui telefric dan makan bakso, bus yang kami tumpangi mengajak kami menuju sebuah resto untuk makan siang. Menunya: nasi mandi khas Taif.
Menu khas Jazirah Arab ini bukan hidangan asing bagi saya, karena hidangan-hidangan khas Timur Tengah lainnya juga banyak dijumpai di Indonesia seperti nasi kebuli, nasi biryani, dan nasi kabsah. Menu ini menyebar hingga ke Indonesia umumnya dibawa oleh orang-orang Hadhrami.
Hanya saja, saat tiba di Indonesia, menu-menu itu telah berakulturasi dengan lidah pribumi sehingga cita rasanya sudah berbeda dengan aslinya.

Nasi mandi sendiri terdiri dari daging dan nasi dengan campuran khusus rempah-rempah. Kata “mandi” konon berasal dari kata dalam bahasa Arab “nada” yang berarti “embun”, yang mencerminkan tekstur lembap ‘berembun’ dari daging.
Seekor ayam utuh dalam nasi mandi yang kami santap bersama memang bertekstur sangat lembut, empuk, dan “basah” (juicy), dengan cita rasa gurih.
Karena sudah kenyang makan seporsi bakso dan sepotong bala-bala saat di Taifsama, saya hanya makan sedikit saja nasi mandi. Enak sih. Berbeda dengan cita rasa nasi mandi yang saya rasakan di Indonesia. Tapi perut kenyang memang susah diajak kompromi. Hanya, setidaknya, saya sudah mencicipi cita rasa nasi mandi khas Taif yang memang, harus saya akui, lebih lezat.

Termasuk hidangan penutup kunafa, saya juga sekadar mencicipinya. Kunafa adalah hidangan penutup khas Timur Tengah bercita rasa manis yang terbuat dari pastri mirip bakmi tipis, atau dough semolina murni, yang dilumuri dengan sipur manis berbahan dasar gula, dan biasanya dilapisi dengan keju atau dengan bahan lain seperti krim gumpal atau kacang.
Kunafa memiliki sebutan yang berbeda di tiap negara, antara lain knafeh, konafa, kunefe, kenafe, dan knefeh. Meski begitu, seluruhnya merujuk pada kue lapisan pastri filo dengan isian keju dan taburan pistakio.
Pada perjamuan kali ini, yang menarik adalah cara menyantap nasi mandi yang kami lakukan secara berjemaah, menyesuaikan cara makan nasi mandi yang juga berlaku bagi jemaah lain, di resto ini. Cara makan seperti ini mengingatkan saya saat masih nyantri di pesantren dulu. Kami biasa makan satu nampan berempat, berlima, bahkan berenam.

Menurut catatan historis, cara makan yang diadopsi masyarakat Sunda dalam tradisi ngaliwet sejak ratusan tahun lalu itu, bukan berasal dari tanah Jawa, melainkan berasal dari budaya orang-orang Arab lewat dunia pesantren.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Baari menyebutkan sebuah hadis, “Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang.”
Karena hadis inilah orang-orang Arab membiasakan diri makan bersama-sama dalam shahfah (piring besar untuk makan lima orang) atau qas’ah (piring besar untuk makan sepuluh orang).
Cara makan seperti itu, dalam banyak hal, memang terasa lebih gayeng, mengasyikkan, dan lebih mengakrabkan persaudaraan satu sama lain.
Mawar Indah Kota Taif
Dari resto, kami bertolak menuju ke sebuah tempat, yang kemudian saya ketahui sebagai pabrik penyulingan bunga mawar. Atau tepatnya sebuah museum edukasi yang mendisplai beragam informasi dan properti yang menggambarkan proses pembuatan parfum hingga essence skincare dari bunga mawar yang memang sangat terkenal di Taif.

Pabrik penyulingan bunga mawar itu didirikan oleh Omar Rasyid Al Qurasyi pada tahun 1996. Sebuah sumber menyebutkan, berawal dari dua pabrik penyulingan bunga mawar di tahun 1996, pabrik yang kini dikelola oleh Rasyid Husein Al Qurasyi ini kemudian bertambah menjadi delapan, bahkan saat ini menjadi 30 pabrik.
Pabrik ini menyedot banyak pengunjung dari jemaah umrah sebagai salah satu destinasi wisata edukasi sekaligus wisata belanja parfum. Dari data yang saya peroleh, jumlah pengunjung pabrik ini mulai dari 50 hingga 3.000 jemaah setiap harinya.
Begitu masuk ruangan, pengunjung mendapatkan penjelasan tentang proses penyulingan bunga mawar menjadi parfum hingga essence skincare. Setelah itu, pengunjung masuk ke ruang edukasi dan promosi, lalu pengunjung bisa melihat taman bunga mawar sekaligus berswafoto.

Sejak dulu, setidaknya pada 1814, seorang penjajah Swiss Johann Ludwig Burckhardt telah mendokumentasikan untuk pertama kalinya bunga mawar Kota Taif, yang kemudian membuat Taif populer sebagai “Kota Mawar”.
Setiap musim semi tiba, para petani memanen kelopak mawar yang indah. Mereka memetik puluhan ribu bunga setiap hari untuk menghasilkan air mawar dan minyak, juga komponen berharga dalam industri kosmetik dan kuliner.

Khaled Al-Amri, seorang peneliti spesialis mawar Taif, sebagaimana dikutip Arab News menyatakan, perkebunan mawar di Taif mampu menghasilkan hampir 800 ton air mawar setiap tahun dengan 40.000 tolas minyak mawar. Setiap tolas terbuat dari 12.000 mawar dan dijual seharga SR1.500 atau sekira Rp5,7 juta.
Sebagai orang yang bukan penyuka parfum, saya menikmati tempat ini bukan soal parfumnya, melainkan keindahan bunga mawarnya. Mawar-mawar yang mekar indah, yang saya berkesempatan mengabadikan keindahannya, dalam sejumlah jepretan kamera.
Dari tempat ini, kami bertolak menuju ke makam Abdullah bin Abbas. Lalu city tour kami berakhir di Masjid Qarnul Manazil untuk berniat umrah kedua sekaligus mengenakan kain ihram. (selesai)