Oleh Badiatul Muchlisin Asti
Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia (Yasmina) Grobogan
Suarayasmina.com | Dr. Husen A Bajry (selanjutnya disebut Dr. Husen saja) adalah pendiri Hoslistic Tourist Hospital di sebuah dataran tinggi di kota Purwakarta, Jawa Barat. Dalam sebuah video di kanal YouTube Holistic Indonesia TV yang diunggah 28 April 2020, Dr. Husen menyatakan bahwa puasa merupakan metode detoksifikasi yang sangat baik dan sangat cepat kalau kita melakukannya dengan baik dan benar. Dan ia sangat meyakini itu.
Namun, ia sempat terkejut dengan pernyataan seorang guru besar di India yang menyatakan bahwa puasa Islam adalah puasa terburuk dan paling berbahaya dari semua puasa agama-agama di dunia. Pernyataan guru besar itu, disampaikan saat ia mengajukan disertasi S3-nya yang berjudul “Bajry Diet Fasting Therapy”.
Ketika guru besar itu bertanya, apa itu Bajry Diet Fasting Therapy? Ia pun menyatakan bahwa Bajry Diet Fasting Therapy adalah perpaduan antara puasa Islam, juice, dan diet therapy yang diterapkan pada rumah sakit yang didirikannya.
Ketika mendengar puasa Islam, guru besar itu langsung mengatakan, “Mohon maaf, disertasi Anda kami tolak”.
Dr. Husen pun bertanya, “Apa alasannya, Prof?”
Guru besar itu pun menyatakan, “Anda tahu bahwa puasa orang Islam adalah puasa terburuk dan paling berbahaya dari semua puasa agama-agama di dunia ini.”
Dr. Husen kembali bertanya, “Apa alasan Anda menjustifikasi bahwa puasa umat Islam adalah puasa yang terburuk dan paling berbahaya?”
Guru besar itu pun bercerita, “Saya, setiap bulan puasa, sering diundang oleh tetangga dan kolega-kolega saya yang beragama Islam. Mereka mengundang ifthar—berbuka puasa bersama. Walaupun saya beragama Hindu, saya sering diundang mereka karena kedekatan saya dengan banyak teman Muslim.”
Lebih lanjut guru besar itu menceritakan, “Saya amati hampir di semua orang Islam yang saya kenal, ketika mereka berbuka puasa, mereka langsung minum dan makan, yang tidak jarang mereka makan hingga sekenyang-kenyangnya. Bahkan tidak sedikit saya melihat, mulut orang Islam makan dari sejak berbuka puasa sampai mau tidur, mulutnya (seakan) tidak pernah berhenti.”
“Karena besoknya dia akan berpuasa, maka ia persiapkan dengan makanan dalam porsi banyak dan tidak sedikit mereka lebih banyak makan dari yang biasanya ketika tidak berpuasa,” jelasnya.
Dari situ, guru besar itu menilai, perut yang sudah diistirahatkan selama hampir 14 jam (di siang hari), lalu ketika berbuka diberikan makanan dalam porsi banyak, dan langsung makanan padat. Hal itu, menurutnya, sangat berbahaya karena merusak lambung.
Mendengar penjelasan guru besar itu, Dr. Husen terdiam. Ia berusaha mencermati apa yang disampaikan guru besar itu. Ia merenung dan berusaha mencari jawaban apa yang harus disampaikan untuk membantah pernyataan guru besarnya itu.
Hingga suatu waktu, Dr. Husen mendapatkan jawaban. Dr. Husen meminta waktu bertemu dengan guru besar itu. Dan ketika Dr. Husen telah bertemu, ia pun mengatakan, “Profesor yang saya hormati, pernyataan Anda yang melihat umat Islam di dalam menjalankan puasanya justru meningkatkan asupan makannya, makan tanpa kontrol, itu benar adanya. Tetapi itu oknum umat Islam karena nabinya umat Islam tidak mengajarkan umatnya seperti itu.”
“Nabinya umat Islam,” kata Dr. Husen lebih lanjut, “mengajarkan ketika bulan puasa, budget keuangan dapurnya dikurangi, asupan makanannya dikontrol dan dibatasi, bahkan nabinya umat Islam mengajarkan cara minum dan makan ketika akan dan setelah berbuka puasa. Bahkan nabinya umat Islam lebih sering lapar ketika berbuka puasa ketimbang mengenyangkan perutnya dengan berbagai makanan.”
“Maka,” tandas Dr. Husen, “oknum umat Islam, walaupun mayoritas, tidak bisa dibenarkan bila dijadikan sebagai justifikasi bahwa puasanya umat Islam merupakan puasa yang terburuk dan berbahaya.”
Puasa Formalitas ke Puasa Substansial
Apa yang disampaikan Dr. Husen A. Bajray sesungguhnya merupakan tamparan keras bagi umat Islam. Orang luar Islam, yang bahkan seorang guru besar, menilai puasa Islam sebagai puasa terburuk dan paling berbahaya karena melihat perilaku mayoritas umat Islam saat berpuasa.
Dari sana, kita seharusnya menyadari bahwa puasa tidak hanya mengejar keabsahan secara formalitas (fiqh), sekadar menahan diri dari makan dan minum saja. Puasa kita harus beranjak ke puasa yang lebih substantif, yaitu mengontrol dan membatasi apa yang kita makan dan minum setelah mengosongkan perut di siang hari.
Bila puasa formalistas hanya menahan diri dari makan dan minum di siang hari, lalu malamnya mengenyangkan perut tanpa kontrol dan pembatasan, maka puasa subastansial mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dari hasrat makan dan minum secara “kalap” atau membabi buta. Kendati telah diperbolehkan makan dan minum, tidak lantas bersikap sembarangan tanpa mengontrol makanan dan minuman jenis apa yang masuk ke dalam perut.
Itulah sejatinya puasa, karena hakikat puasa adalah pengendalian diri. Sebuah hadis menyatakan, “Berpuasalah, niscaya kalian sehat”. Meski hadis ini daif, bahkan tertolak, namun substansinya benar. Puasa akan menjadikan kita sehat bila dilakukan secara baik dan benar.
Puasa dan Detoksifikasi
Saat ini kita hidup di tengah gelimang industri makanan yang hampir semua produk makanan, yang di antaranya kita konsumsi, mengandung perasa, pewarna, dan pengawet melebihi batas ambang toleransi. Menumpuklah itu semua sebagai toksik (racun) di dalam tubuh kita.
Semua penyakit, baik yang akut maupun kronis, berawal dari akumulasi toksik dan sampah hasil metabolisme tubuh. Penyakit timbul karena penumpukan toksik dalam tubuh yang sudah melewati batas toleransi.
Puasa memang tidak mengobati penyakit, namun puasa memberikan kesempatan tubuh beristirahat dari rutinitas pekerjaan mengolah makanan dan minuman seperti biasanya. Sehingga energi yang biasa digunakan oleh tubuh bekerja mengolah makanan, akan digunakan untuk melakukan perbaikan-perbaikan kerusakan tubuh ketika berpuasa. Itulah sebabnya puasa mampu mengobati berbagai penyakit kronis.
Saat berpuasa, tubuh mengalami detoksifikasi secara alami. Tidak adanya makanan yang biasa masuk ke dalam lambung, membuat organ-organ tubuh, seperti hati dan limpa, ‘membersihkan diri’. Racun-racun yang dibuang pun 10 kali lebih banyak.
Karena racun yang dikeluarkan lebih banyak dari biasanya, proses penuaan pun bisa dihambat untuk sementara. Itulah sebabnya, bila kita melakukan puasa secara benar, wajah kita akan tampak lebih berseri.
Proses perbaikan kerusakan tubuh dan detoksifikasi menjadi terhambat, bahkan tidak terjadi, bila kita memulai hari dengan sahur dengan mengonsumsi makanan-makanan berat dan menutup sesi puasa (mengosongkan perut) dengan berbuka juga dengan makanan-makanan berat yang tidak bermanfaat (baca: sampah) bagi tubuh. Karena bila ini yang kita lakukan, mesin pencernaan kita tidak benar-benar sedang “beristirahat” saat berpuasa.
Berpuasa dari Makanan dan Minuman Sampah
Dr. Zaidul Akbar dalam buku Ramadhan JSR: Bulan Iman dan Imun (2021) menyatakan, Ramadan adalah bulan berpuasa. Jadi, “berpuasalah” dari makanan dan minuman rendah gizi yang sering menemani kita. Makanan rendah gizi hanya terasa lezat di lidah, tetapi tidak ada manfaatnya bagi tubuh.
Dr. Zaidul Akbar memberikan contoh beberapa di antara makanan yang rendah gizi. Pertama; sirup yang berlimpah gula atau pemanis buatan. Kedua; makanan yang digoreng atau tepung yang digoreng. Ketiga; makanan dan minuman tinggi karbohidrat simpleks (sedeharan), seperti kue berbahan tepung dan sebagainya.
Keempat; nasi putih yang sudah banyak kehilangan mineralnya. Kelima; makanan dan minuman yang mengandung pengawet. Dan keenam; makanan dan minuman yang tinggi kandungan gula pasirnya.
Bila kita ingin sehat dan proses perbaikan kerusakan tubuh serta proses pembuangan racun (detoksifikasi) dalam tubuh kita berjalan dengan baik, mau tidak mau kita harus mengubah gaya berpuasa kita, dari puasa formalistik ke puasa substansial, dengan memperhatikan dan membatasi asupan makanan dan minuman.
Hal itu tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri, mengingat baik di dalam maupun di luar Ramadan, gaya hidup kita karib dengan makanan-makanan dan minuman minim guna seperti sirup, gorengan, minuman kemasan dan berkarbonasi, minuman manis bergula pasir, dan lain sebagainya.
Bahkan di Indonesia, kedatangan bulan Ramadan sudah disambut atau ditandai dengan iklan sirup yang tayang secara masif di televisi. Pelapak-pelapak takjil yang menjual aneka gorengan dan kue berbahan tepung-tepungan, juga minuman-minuman manis seperti es campur, marak di bulan Ramadan.
Lalu apa yang kita makan saat Ramadan? Dr. Zaidul Akbar memberikan kata kunci: “Sederhanakanlah makanan kita dan makanan-makanan yang utuh”.
Pertama; sumber manis dan makanan atau minuman utuh bisa kita dapatkan dari kurma, madu, dan buah-buahan (seperti nanas dan anggur). Kedua; lemak yang baik bisa didapatkan dari minyak zaitun dan VCO (Virgin Coconut Oil). Ketiga; Karbohidrat bisa didapatkan dari beras merah, beras coklat, beras hitam, singkong, ubi jalar dan kentang. Dan keempat; sumber protein bisa didapatkan dari nabati dan hewani. Namun Dr. Zaidul Akbar menganjurkan, untuk memperbanyak protein nabati daripada protein hewani. Protein nabati bisa diperoleh dari alpukat dan brokoli. Protein hewani bisa kita peroleh dari ikan.
Bila ingin menjadikan Ramadan sebagai bulan detoksifikasi, menurut Dr. Zaidul Akbar, sebaiknya asupan protein hewaninya hanya 15 – 20 % dalam sebulan. Artinya, dalam sebulan, kita hanya mengonsumsi protein hewani satu pekan sekali atau empat kali dalam sebulan. Dengan demikian, proses pembersihan tubuh berjalan dengan optimal.
Bagi umat Islam, puasa Ramadan merupakan waktu yang tepat sebagai momentum revolusi gaya hidup sehat. Gaya hidup sehat itu tidak hanya diterapkan di bulan Ramadan saja, tapi juga setelahnya. Bila tidak mulai dari sekarang, kapan lagi? Apakah menunggu tubuh terkulai lemah karena gempuran penyakit? Semoga menjadi renungan kita bersama.
*Artikel telah dimuat di Ayobandung.com, edisi Senin, 3 Maret 2025.