Suarayasmina.com – Namanya tidak setenar pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari atau pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, namun kiprahnya bagi kemajuan Islam di Indonesia tidak bisa dipandang remeh. KH. Abdullah Said adalah sosok di balik berdirinya Hidayatullah, sebuah ormas Islam yang bertumbuh pesat dan memiliki segudang amal usaha.

Ormas Hidayatullah telah memiliki ratusan cabang di seantero negeri. Semua provinsi di Indonesia sudah ada pengurusnya dan baru-baru ini Hidayatullah menghelat Musyawarah Nasional (Munas) yang ke-6 selama tiga hari (21-23/10/ 2025) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.

Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam sambutannya saat membuka munas menyampaikan apresiasinya terhadap dinamika Munas Hidayatullah yang dinilainya menggambarkan kematangan organisasi Islam dalam memadukan nilai keislaman dan keindonesiaan.

Menurut Nasaruddin, Hidayatullah tumbuh begitu pesat dan kini mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. “Ini menunjukkan semangat khaira ummah yang patut diapresiasi,” tuturnya seperti dikutip hidayatullah.or.id.

Piawai Retorika Sejak Kecil

Siapakah KH. Abdullah Said? Abdullah Said lahir di Lamatti Rilau, Sinjai, Sulawesi Utara, pada 17 Agustus 1945—persis saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Nama aslinya Muhsin Kahar. Ia anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Abdul Kahar dan ‘Aisyah.

Ayahnya, Abdul Kahar, adalah seorang ulama yang dihormati di Kampung Lamatti. Ayahnya populer dengan sebutan Puang Imang—sebuah panggilan kehormatan kepada seorang imam di kampung. Sedang ibunya, Aisyah, kerap disapa Puang Ica.

Abdullah memulai pendidikan dengan bersekolah dasar (SD) di Sinjai, yang hanya dikenyamnya selama tiga tahun, karena setelah itu, Abdullah ikut orangtuanya pindah ke Ujung Pandang (Makassar).

Abdullah menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD 30 Ujung Pandang. Setelahnya melanjutkan studi ke Pendidikan Guru Agama (PGA). PGA dijalaninya selama enam tahun dan diselesaikan pada tahun 1964 saat usianya 19 tahun.

Selulus dari PGA, Abdullah Said melanjutkan studinya ke IAIN Alauddin Makassar, namun hanya dijalaninya selama setahun. Alasannya, ia merasa tidak mendapatkan tambahan ilmu yang berarti.

Salah satu yang menonjol dari bakat Abdullah adalah kemahirannya berpidato. Sejak usia 12 tahun, bakat Abdullah dalam berpidato sudah terlihat. Ia piawai beretorika. Ceramahnya memikat dan menggugah. Sehingga saat PGA, Abdullah sudah sangat aktif mengisi pengajian di masjid-masjid dan memenuhi pelbagai undangan ceramah.

Kaya Wawasan Keagamaan

Kepiawaian Abdullah Said dalam beretorika ditunjang dengan keluasan wawasannya. KH. Abdullah Said memang sosok yang haus ilmu. Ia sosok yang terus berupaya memperdalam pemikiran dan wawasan keagamaan. Ia berguru kepada banyak ulama, di antaranya kepada KH. Abdul Malik Ibrahim, yang mengajarinya dasar-dasar agama.

Ia juga berguru kepada KH. Abdul Djabbar Asjiri yang mengajarinya teknik berpidato yang memikat dan memberinya tips cepat menghafalkan hadis-hadis. Ia juga berguru kepada KH. Marzuki Hasan, yang banyak membimbingnya dan memberinya wawasan keislaman serta memompa semangat dakwahnya.

Tercatat, Abdullah Said juga pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Gontor (Ponorogo) dan Pondok Pesantren Bangil. Di Bangil, Abdullah Said sering diajak berdiskusi oleh gurunya tentang topik-topik aktual yang sedang menjadi perbincangan publik, lintas tema, termasuk tema ekonomi dan politik.

Abdullah Said juga tercatat pernah berguru kepada KH. Abdul Ghaffar Ismail (ayah sastrawan Taufiq Ismail) di Pekalongan. Bahkan, untuk memuaskan dahaganya terhadap ilmu, Abdullah Said pernah berkeinginan kuat mendalami agama di Timur Tengah.

Ketika itu, dia membulatkan tekad melanjutkan studi di Kuwait. Ia pun pergi ke Jakarta guna mengurus kepergiannya itu. Di Jakarta, ia bertemu dengan salah seorang pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang menyarankannya mengurungkan niat belajar ke Timur Tengah.

“Bukankah Al-Qur’an yang dipelajari di Kuwait itu juga dipelajari di sini? Kalau menurut saya, kembalilah ke Kalimantan, amalkanlah ilmu yang kamu miliki. Orang-orang Kalimantan sekarang membutuhkan pembinaan. Siapa yang berdosa kalau harus menunggu pintarnya dulu baru beramal. Insyaallah, Dia akan memberimu ilmu yang kamu rasa masih kurang itu, manakala kamu mengamalkannya,” kata pengurus DDII itu kepada Abdullah Said.

Mendengar nasehat itu, Abdullah Said mengurungkan niatnya belajar ke Kuwait. Ia kembali ke Kalimantan dan mendirikan Pesantren Hidayatullah.

Mendirikan Pesantren Hidayatullah

Abdullah Said dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah sejak tahun 1966.  Pada 27 Agustus 1969, ia bersama rekan-rekannya di Pemuda Muhammadiyah menyerbu tempat perjudian di Makassar.

Aksi menggemparkan tersebut menyebabkannya menjadi buruan polisi, sehingga ia hijrah ke Balikpapan pada Maret 1970 dan mengganti namanya dari Muhsin Kahar menjadi Abdullah Said. Di Balikpapan, ia menginisiasi program kaderisasi dai bernama Training Center (TC) Darul Arqam pada 1970.

Pada 5 Februari 1973 atau 1 Muharam 1393, KH. Abdullah Said bersama beberapa rekannya, antara lain KH. Hasan Ibrahim, KH. Muhammad Hasyim HS, KH. Usman Palese, dan KH. Muhammad Nazir Hasan, mendirikan pondok pesantren di Karang Bugis, Balikpapan, dengan nama Hidayatullah.

Pondok pesantren ini diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, yang kala itu dijabat oleh Prof. Dr. Mukti Ali, pada tahun 1976.

Tiga tahun kemudian, KH. Abdullah Said menerima wakaf seluas 5, 4 hektar di Gunung Tembak, Balikpapan. Tanah ini kemudian dikembangkan menjadi Pondok Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan.

Saat ini, di kampus induk Hidayatullah Balikpapan yang berada di atas lahan wakaf seluas sekitar 120 hektar, telah berdiri masjid, gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi, aula pertemuan, kantor, guest house, perumahan warga, juga dilengkapi sarana umum, serta lingkungan hijau yang ditata sedemikian rupa, sehingga tampak asri.

Tak heran, bila pada tahun 1984, Presiden Soeharto menganugerahkan Kalpataru kepada KH. Abdullah Said karena dinilai mampu mengubah kawasan kritis di Gunung Tembak menjadi lingkungan pesantren yang hijau dan asri. Di tengah lokasi pesantren terdapat danau buatan yang tidak pernah kering meski berada di musim kemarau.

Cita-cita yang Terwujud

Membangun lembaga pengkaderan dai dan sebuah kampung Muslim yang masyarakatnya taat menegakkan syariat Islam, sudah menjadi cita-cita Abdullah Said sejak lama. Idenya dilhami oleh sebuah tulisan di buku berjudul Rangkaian Mutu Manikam, Kumpulan Buah Pikiran Kyai Hadji Mas Mansur karya Drs. Amir Hamzah Wirjosukarto yang terbit tahun 1968.

Di buku itu diceritakan pengalaman KH. Mas Mansur, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936-1942, ketika masih belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Diceritakan, KH. Mas Mansur pernah mengunjungi sebuah tempat pengkaderan di tengah-tengah benua Afrika, sebelah selatan Tripoli, ibu kota Libya. Desa itu bernama Syanggit.

Di tengah desa itu terdapat sebuah sungai yang melintas. Di sekitarnya penuh tanaman kurma dan tin. Ada juga ladang gandum. Tempat pengkaderan itu memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan. Ada juga unta dan kuda. Semuanya milik Syekh Sidi Abdullah sekeluarga yang mengelola dan memimpin tempat pengkaderan itu.

Penghuninya terdiri dari 5 ribu santri. Memiliki sebuah asrama yang terdiri dari 100 kamar yang luas. Pada pukul 04.00 para santri bangun untuk salat Subuh berjemaah. Setelah itu mereka masuk kamar untuk mengulang pelajarannya. Pukul 10.00 hingga 10.00 masuk kelas.

Pengalaman kunjungan KH. Mas Mansur itu menginspirasi Abdullah Said untuk mewujudkan sebuah desa seperti itu di Indonesia. Ia pun membicarakan cita-cita itu dengan kawan-kawannya. Termasuk menceritakannya ketika mengisi ceramah di berbagai tempat.

Banyak yang sepakat dengan ide Abdullah Said. Namun ketika mulai diwujudkan, tak sedikit yang mengundurkan diri. Namun Abdullah Said tetap berbulat tekad dan bersemangat tinggi mewujudkannya.

Satu goresan penanya menjadi saksi perjuangannya yang kini telah terwujud.

Inilah tantangan yang harus kita jawab sekarang dan besok
Mampukah kita mempertahankan apa yang telah kita capai kini?
Dan mampukan kita meningkatkannya di hari mendatang?
Mari kita jawab dengan praktek dan kenyataan
Selamat berjumpa di alam realita
Tidak di alam cerita
Selamat bertemu di alam kenyataan
Tidak di alam pernyataan

Setelah KH. Abdullah Said wafat pada tanggal 4 Maret 1998, kepemimpinan Hidayatullah dilanjutkan Ustaz H. Abdurrahman Muhammad. Tak berapa lama setelah itu, terbentuklah Dewan Eksekutif yang bertugas menyelenggarakan pertemuan nasional untuk menentukan arah dan bentuk Hidayatullah ke depan.

Lalu, pada Musyawarah Nasional I Hidayatullah tanggal 9-13 Juli 2000 di Balikpapan, Kalimantan Timur, pesantren Hidayatullah yang telah memiliki ratusan cabang di pelbagai daerah itu, secara resmi mengubah diri menjadi organisasi massa (ormas).

Struktur organisasi Hidayatullah disusun menjadi lima jenjang, yakni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di tingkat nasional, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di tingkat provinsi, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di tingkat kabupaten/kota, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di tingkat kecamatan, dan Pimpinan Ranting (PR) di tingkat desa/kelurahan.

KH. Abdullah Said meninggal dunia di Jakarta pada usia 52 tahun dan dimakamkan di Balikpapan. Hidayatullah dengan segudang amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan, dan kemanusiaan, yang kini telah berkembang pesat, merupakan warisannya yang tak ternilai.

Facebook Comments Box

Penulis: Badiatul Muchlisin AstiEditor: M. A. Fathan

Advertisement

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.