Oleh Badiatul Muchlisin Asti
Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia (Yasmina) Grobogan

Suarayasmina.com | Dalam khazanah ulama Nusantara, nama KH. Sholeh Darat sangat diperhitungkan karena termasuk ulama besar pada masanya. Beliau dijuluki “mahaguru ulama Nusantara” karena banyak ulama besar di Indonesia yang pernah berguru kepadanya.

Sebagai ulama besar dengan penguasaan multidisiplin ilmu, KH. Sholeh Darat meninggalkan banyak karya yang hingga kini masih banyak dikaji di berbagai pesantren dan majelis taklim. Di antaranya oleh Komunitas Pencinta KH. Sholeh Darat (Kopisoda) yang berpusat di Kota Semarang.

Makam KH. Sholeh Darat berada di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang dan sebagaimana makam ulama besar lainnya, setiap hari hampir diziarahi oleh banyak peziarah dari berbagai daerah.

KH. Sholeh Darat: Kelahiran dan Pengembaraan Intelektualnya

Siapakah KH. Sholeh Darat? KH. Sholeh Darat adalah seorang ulama besar pada masanya yang lahir di pesisir utara Jawa, tepatnya di Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, pada sekitar tahun 1820 M. Nama aslinya Muhammad Sholeh bin Umar. Beliau juga dikenal dengan nama KH. Sholeh Darat As-Samarani.

Darat yang dilekatkan pada namanya merujuk pada sebuah kampung dekat pantai utara Kota Semarang. Kampung itu saat ini terletak di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, yang dulu bernama Kampung Mlayu Darat.

Di kampung itulah dulu KH. Sholeh Darat mendirikan pesantren dan menjadikannya sebagai pusat kaderisasi ulama. Lalu penyebutan as-Samarani yang berarti “Semarang” merupakan bagian integral dari nama seorang ulama ternama yang sudah menjadi kelaziman pada masa itu. Penyertaan nama kota asal dimaksudkan untuk menunjukkan dari mana ulama itu berasal atau tinggal.

KH. Sholeh Darat sendiri adalah putra Kiai Umar, seorang ulama yang berpengaruh di masanya. Kiai Umar juga merupakan salah satu ulama pejuang kepercayaan Pangeran Diponegoro di daerah Semarang khususnya dan Jawa bagian utara pada umumnya. Kiai Umar terlibat aktif dalam Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda.

KH. Sholeh Darat tumbuh menjadi seorang ulama mumpuni dan ‘alim karena kapasitas ilmunya yang mendalam terkait banyak disiplin keilmuan Islam. Hal itu karena sejak kecil, KH. Sholeh Darat sangat tekun mendalami ilmu agama. Sejak belia, KH. Sholeh Darat dibimbing langsung oleh ayahnya, Kiai Umar, terkait dasar-dasar ilmu keislaman.

Setelah itu, KH. Sholeh Darat melakukan pengembaran intelektual dengan berguru kepada sejumlah ulama di luar Jepara. Antara lain, berguru kepada Kiai Syahid di Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Setelah itu, berguru kepada Kiai Muhammad Sholeh bin Asnawi di Kudus. Setelahnya, bertolak menuju ke Kota Semarang untuk menimba ilmu kepada Kiai Ishak Damaran, Kiai Abu Abdullah Muhammad al-Hadi al-Baiquni, Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Abdul Ghani Bima.

Setelah berguru kepada ulama di Pati, Kudus, dan Semarang, KH. Sholeh Darat masih melanjutkan pengembaraan intelektualnya, kali ini ke Loano, Purworejo. Di sini, beliau berguru kepada Haji Muhammad Irsyad.

Meski telah memiliki kapasitas ilmu yang memadai yang beliau timba dari para ulama mumpuni pada zamannya, namun gairah menuntut ilmu KH. Sholeh Darat masih tetap membara. Beliau pun meminta izin ayahnya, Kiai Umar, untuk melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Mekah. Dan ayahnya pun mendukung niat mulia anaknya itu.

Oleh Kiai Umar, KH. Sholeh Darat diajak ke Mekah melalui Singapura dengan dua tujuan sekaligus, yaitu menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama terkemuka di tanah suci.

KH. Sholeh Darat Berguru Kepada Para Ulama Mekah dan Madinah

Di Mekah, dan juga di Madinah, KH. Sholeh Darat berguru kepada para ulama, baik yang berasal dari Nusantara maupun yang berasal dari Arab. Bekal keilmuan yang dibawanya dari tanah air, memudahkannya mendalami ilmu-ilmu keislaman selama di tanah suci.

Karena itulah, selain belajar, di Mekah KH. Sholeh Darat juga mengajar. Sehingga banyak ulama-ulama dari Indonesia yang memiliki sanad keilmuan dari KH. Sholeh Darat. Bahkan di Mekah, KH. Sholeh Darat juga diangkat sebagai seorang mufti—ulama yang mempunyai otoritas memberi fatwa, yang mengantarnya mempunyai reputasi internasional.

Ada banyak ulama Mekah yang menjadi guru KH. Sholeh Darat, di antaranya adalah Syekh Muhammad al-Muqri al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayid Muhammad Sholeh bin Sayid Abdurrahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar as-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri, dan Syekh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi).

KH. Sholeh Darat tinggal di tanah Arab hingga tahun 1880. Kurang lebih 45 tahun—bila KH. Sholeh Darat berangkat ke Mekah tahun 1835. Selama puluhan tahun itu, selain belajar memperdalam ilmu agama, KH. Sholeh Darat juga menjadi pengajar dan mufti. Bahkan KH. Sholeh Darat pernah menikah ketika di Mekah. KH. Sholeh Darat menikah dengan seorang perempuan Arab. Sayangnya tidak ada data nama perempuan itu. KH. Sholeh Darat memutuskan kembali ke tanah air setelah istrinya meninggal dunia.

Sebenarnya, KH. Sholeh Darat merasa nyaman tinggal di Mekah. Apalagi bila mengingat ketika itu Indonesia masih menjadi tanah jajahan kolonial. Namun kesadaran untuk ikut menyiarkan Islam di tanah air, menjadikan KH. Sholeh Darat memutuskan untuk pulang ke tanah air.

KH. Sholeh Darat Pulang ke Tanah Air

Salah satu sosok yang disebut-sebut berjasa mempengaruhi keputusan KH. Sholeh Darat untuk pulang ke Tanah Air adalah Kiai Hadi Girikusumo. Menurut Kiai Hadi, KH. Sholeh Darat adalah sosok alim yang menguasai banyak disiplin ilmu agama. Sangat disayangkan bila dirinya menetap di Mekah dan tidak pulang ke tanah air.

Keilmuan KH. Sholeh Darat, menurut Kiai Hadi, akan lebih bermanfaat bila diamalkan di tanah air, mengingat masyarakat Jawa khususnya ketika itu masih sangat awam soal agama. Sentuhan dari Kiai Hadi itulah yang turut membuka kesadaran dan memantapkan hati KH. Sholeh Darat untuk akhirnya berkenan pulang ke tanah air.

Setiba di tanah air, KH. Sholeh Darat diambil menantu oleh Kiai Murtadlo—teman seperjuangan Kiai Umar, ayah KH. Sholeh Darat. KH. Sholeh Darat dinikahkan dengan putri Kiai Ali Murtadlo yang bernama Shofiyah.

Menurut cerita, setelah Kiai Murtadlo mendengar kabar duka istri KH. Sholeh Darat meninggal dunia di Mekah, beliau langsung mengirim pesan kepada KH. Sholeh Darat lewat jemaah haji agar pulang ke tanah air, tepatnya ke Semarang, untuk mengajar dan syiar dakwah Islam di Semarang.

Akhirnya, sekembalinya ke tanah air, KH. Sholeh Darat menetap di Semarang dan mendirikan pesantren di kampung Darat.

KH. Sholeh Darat Dijuluki Mahaguru Ulama Nusantara

Sepeninggal KH. Sholeh Darat, beliau dijuluki “Mahaguru Ulama Nusantara”. Hal itu karena banyak santri KH. Sholeh Darat yang di kemudian hari diketahui berhasil menjadi ulama-ulama besar Nusantara. Di antara ulama-ulama besar yang pernah berguru kepada KH. Sholeh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Umar (Pendiri Pesantren Al-Muayyad, Solo), KH. Dahlan Tremas (ahli falak), KH. Munawwir (Pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta), dan banyak lagi.

Pahlawan emansipasi wanita kelahiran Jepara, RA Kartini, disebut-sebut juga pernah menimba ilmu kepada KH. Sholeh Darat dengan aktif mengikuti pengajian beliau setiap hari Ahad di pendopo Kabupaten Demak, di mana pamannya menjabat sebagai bupati. RA Kartini aktif mengikuti pengajian KH. Sholeh Darat selama kurang lebih dua tahun, sebelum akhirnya menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Aryo Singgih Djojoadiningrat.

KH. Sholeh Darat meninggal dunia pada hari Jumat Legi, 28 Ramadan 1321 H atau bertepatan dengan 18 Desember 1903 pada usia kurang lebih 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Bergota, salah satu pemakaman tertua di Semarang yang didirikan tahun 1862 oleh pemerintah Hindia Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Mijer.

KH. Sholeh Darat mewariskan banyak karya berupa puluhan kitab di bidang fikih, tafsir, ulumul Qur’an, tasawuf, dan lainnya, dengan penulisan Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa). Salah satunya kitab Fayd ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir al-Kalam al-Malik al-Dayyan.

Kopi kitab tafsir ini dapat dijumpai di Museum RA Kartini Rembang untuk mengenang KH. Sholeh Darat pernah menghadiahkan kitab ini kepada RA Kartini. Sebuah sumber menyebutkan, kitab tafsir karya KH. Sholeh Darat itu dihadiahkan kepada RA Kartini sebagai hadiah pernikahannya dengan Bupati Rembang.

Referensi:

Hakim, Taufiq. (2016). Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M. Yogyakarta: InDes Publishing.

Hazen, H. Ibnu, dkk. (2015). 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Islam Nusantara. Jakarta: Lembaga Ta’mir Masjid PBNU.

Kholqillah, Ali Mas’ud. (2018). Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat Al-Samarani: Maha Guru Para Ulama Nusantara. Surabaya: Pustaka Idea.

Winarno, Edy. (2017). Kartini (Raden Ayu Bupati Djojoadiningrat) di Rembang. Rembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang.

Facebook Comments Box

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.