Benarkah daging biawak halal dikonsumsi?
Dijawab oleh Badiatul Muchlisin Asti
Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia (Yasmina) Grobogan
Suarayasmina.com | Di beberapa daerah memang sering dijumpai warung makan yang menawarkan menu-menu dari daging biawak. Bagaimana hukum mengonsumsi daging biawak?
Biawak dan Kehalalan Dhabb
Di Indonesia tak sedikit yang menghalalkan mengonsumsi daging biawak berlandasan pada sejumlah riwayat hadis yang menyatakan kehalalan binatang dhabb. Di antaranya, sebuah riwayat dari Ibnu Abbas ra yang berkata,
أُكِلَ الضَّبُّ عَلَى مَا ئِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“Dhabb pernah dimakan (oleh para sahabat) dalam hidangan Rasulullah Saw.” (Muttafaq Alaih).
Menurut Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam—Syarah Bulughul Maram, hadis ini menjadi dalil yang membolehkan memakan dhabb dan inilah pendapat mayoritas ulama.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan, benarkah dhabb adalah biawak—yang biasa dijumpai di sejumlah daerah di Indonesia?
Antara Dhabb dan Biawak
Di Indonesia banyak yang menyamakan dhabb dengan biawak. Sehingga yang terjadi kemudian, riwayat tentang dhabb dijadikan dalil kehalalan mengonsumsi daging biawak.
Padahal, dhabb dan biawak adalah dua jenis hewan yang berbeda, baik makanan maupun habitatnya. Dhabb (kadal gurun, biawak padang pasir) bukanlah binatang buas.
Sedang biawak—atau orang Jawa menyebutnya selira, ada pula yang menyebutnya nyambek, termasuk binatang buas (karnivora).
Biawak Haram Dikonsumsi
Karena termasuk binatang buas, maka secara fiqh, biawak termasuk binatang yang haram dikonsumsi menurut mayoritas ulama. Sebagaimana hadis Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang mempunyai gigi taring haram dimakan.” (HR. Muslim)
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-7 di Bandung pada 13 Rabiust Tsani 1351 H/9 Agustus 1932 M menyatakan, binatang biawak (seliro-Bhs. Jawa) itu bukan binatang dhabb, oleh karenanya haram dimakan.
Wallahu a’lam bish-shawab.










