Suarayasmina.com – Umrah secara bahasa memiliki makna berkunjung (ziyarah). Ketika dikatakan a’marahu, maksudnya adalah ketika seseorang mengunjunginya.
Sedangkan menurut syara’, umrah adalah berkunjung ke Baitul Haram dengan cara yang telah ditentukan syariat Islam.
Bagi umat Islam, umrah adalah perjalanan spiritual yang memberikan kesempatan untuk memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran spiritual dengan mengunjungi Kakbah.
Mengenai status hukum menjalankan umrah, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat paling kuat dalam mazhab Maliki, hukum menjalankan umrah adalah sunnah muakkad satu kali seumur hidup.
Pendapat ini mendasarkan pada hadis-hadis yang masyhur dan shahih yang menyebutkan kewajiban-kewajiban dalam Islam, namun tidak menyebutkan umrah sebagai salah satu kewajiban tersebut.
Misalnya hadis Ibnu Umar, “Islam itu didirikan di atas lima perkara…” yang menyebutkan haji saja.
Jabir meriwayatkan bahwa seorang Badui pernah menghadap Rasulullah Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah umrah itu wajib?” Beliau menjawab, “Tidak, tapi sangat baik jika kau mengerjakannya.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, dan lainnya).
Dalam riwayat lain berbunyi, “sangat utama bagimu.”
Abu Hurairah menyebutkan, “Haji sama wajibnya seperti jihad, sedang umrah bersifat sukarela.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, dengan sanad lemah).
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i (dalam pendapat yang paling kuat) dan mazhab Hambali, umrah hukumnya wajib seperti haji. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” QS. al-Baqarah: 196)
Artinya, lakukan keduanya dengan sempurna; dan perintah mengandung makna kewajiban.
Pendapat juga mendasarkan pada sebuah hadis Aisyah,
قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ قَالَ: نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Dia pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Apakah kaum wanita wajib berjihad?’ Beliau menjawab, ‘Ya, Jihad yang tidak berisi peperangan, yaitu haji dan umrah’.”
Zahir hadis ini menunjukkan bahwa umrah hukumnya wajib.
Mana yang lebih shahih (valid) dan rajih (kuat)?
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu menyatakan, pendapat kedua (yang menyatakan wajib) lebih shahih sebab ayat di atas menunjukkan demikian; juga karena hadis-hadis kelompok pertama (yang menyatakan sunnah) lemah.
Namun Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyatakan pendapat pertama lebih kuat. Mengutip penulis kitab Fathul ‘Allam, “Dalam masalah ini terhadap beberapa hadis, tapi semuanya tidak dapat dijadikan dalil.”
Tirmidzi menyebutkan bahwa Asy-Syafi’i berkata, “Tidak ada riwayat shahih tentang kewajiban umrah, sehingga hukumnya adalah sunnah.”
Menyikapi perbedaan pendapat itu, keluar dari ikhtilaf lebih direkomendasikan. Caranya seperti yang dinyatakan oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dalam Fiqhus Sunnah Lin Nisa’, “Berdasar keadaan ini, maka tindakan yang lebih berhati-hati adalah menunaikannya—walau hanya sekali—dan tidak meninggalkannya karena meremehkan. Karena amalan dengan dalil-dalil yang bernuansa wajib itu membuat orang yang mengerjakannya akan lebih terjaga, menurut ijmak ulama. Di samping itu, melaksanakan umrah juga merupakan bukti sikap keluar dari perselisihan yang akan panjang bila disebutkan.”
Apalagi di tengah masa tunggu (waiting list) haji yang sangat lama, umrah menjadi pilihan yang tepat bagi siapapun yang telah memiliki kemampuan. Bersegera umrah dan jangan ditunda lagi mengingat umrah adalah ibadah yang akan mengantarkan pengamalnya pada pengalaman-pengalaman spiritual yang menakjubkan.













